Toilet paper, atau tissue WC, telah digunakan di China sejak
abad keempat belas dan dibuat dalam ukuran 2×3 inci. Di tempat lain,
dan di China sebelum masa itu, manusia menggunakan apapun yang
disediakan oleh alam untuk membantu urusan buang air. Daun, kulit
kerang, dan kulit jagung telah menjadi pilihan yang lazim. Orang Romawi
menggunakan spons yang dipasang pada ujung sebuah tongkat dan direndam
di air garam. Dan di beberapa kebudayaan tangan kiri memiliki tugas
membersihkan daerah pembuangan, dan pada kebudayaan tersebut tangan kiri
masih mendapatkan stigma sebagai sesuatu yang kurang baik hingga masa
kini.
Hingga akhir abad ke-19, orang Amerika memilih menggunakan bahan
bacaan yang sudah akan dibuang. Tidak jelas juga apakah ini menjadi
alasan kenapa hingga kini orang Amerika sering membawa bahan bacaan ke
toilet, atau mereka sekedar mengharapkan mendapat pencerahan saat
membaca di toilet.
Kertas tissue toilet dengan bentuknya sekarang pertama kali muncul
pada tahun 1857, dibuat oleh Joseph Gayetty. Pada tahun 1879, Scott Paper Company didirikan oleh kakak beradik Edward dan Clarence Scott. Mereka menjual tissue WC dalam gulungan tanpa perforasi. Pada tahun 1885, gulungan tisu WC dengan perforasi dijual oleh Albany Perforated Wrapping Paper Company. Virtual Toilet Paper Museum melaporkan bahwa kehabisan stok tissue WC pertama kali di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1973.
Penggunaan Tissue dan Masalah Lingkungan
Sadarkah kita bahwa penggunaan tissue yang berlebihan ikut mendukung
kerusakan hutan? Misalnya, dalam 1 pack terdapat 20 lembar tissue. Dan,
ternyata dari 1 pohon berumur 6 tahun hanya bisa menghasilkan 2 pack
tissue saja, atau 40 lembar.
Sementara, satu pohon itu bisa menghasilkan oksigen untuk menghidupi 3
orang. Bayangkan berapa jumlah orang disekitar Anda yang menggunakan
tissue setiap harinya. Pasti sangat banyak. Sampai saat ini pun
Indonesia sudah kehilangan sekitar 72% hutan aslinya, dan semakin hari
kerusakan hutan masih tetap berlanjut.
Penggunaan tissue dapat kita minimalisir dengan beralih menggunakan
sapu tangan atau handuk. Memang penggunaannya tidak sepraktis memakai
tissue yang sekali pakai bisa langsung di buang, sapu tangan harus
dicuci agar dapat digunakan kembali. Tapi lihat saja manfaat penggunaan
sapu tangan selain mengurangi kerusakan hutan, kita juga membantu
mengurangi penumpukan sampah. Jika dilihat dari segi produksinya,
menghemat penggunaan tissue dapat mengurangi pemborosan energi dan air
saat proses produksi.
Belum lagi dampak negatif lainnya dari segi kesehatan. Contoh, kita
kerap menggunakan tissue untuk mengambil atau membungkus makanan,
misalnya gorengan, untuk menghindari tangan kotor atau menyerap minyak
yang berlebihan pada makanan tersebut. Padahal, zat kimia yang
terkandung dalam kertas tissue dapat bermigrasi ke makanan. Seperti
pernah dikemukakan Sapto Nugroho Hadi, Departemen Biokimia IPB.
Zat yang disebut pemutih – klor – memang ditambahkan dalam pembuatan
kertas tissue agar terlihat lebih putih dan bersih. Zat ini bersifat
karsinogenetik (pemicu kanker).
Hal yang sama juga terjadi pada kertas yang lain, entah kertas koran
atau majalah, yang sering dipakai untuk membungkus makanan.
Kertas-kertas ini mengandung timbal (Pb) yang bisa berpindah kemakanan
karena panas makanan. Timbal yang masuk ketubuh akan meracuni tubuh dan
menyebabkan beragam gangguan, dari kondisi pucat sampai lumpuh.
sumber : http://www.astalog.com/3809/sejarah-tentang-tissue.htm
Senin, 29 Februari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ternyata china duluan yang menggunakannya yah
berita tentang banjir
Posting Komentar